Cerpen Sepak Bola : Kemenangan 'Si Biru' di Brasil
Situasi di depan mulut gawang Brasil tampak gawat. Teriakan suporter Perancis yang membahana di dalam stadion Stade de France
dan suara reporter televisi yang mengurai kata-kata mendebarkan membuat
suasana di depan tivi kecil di rumah keluarga Felix, di perkampungan
padat di pinggiran kota Sao Paulo sunyi. Senyap. Degup jantung
orang-orang yang bertebaran lantai dengan posisi duduk tak nyaman
beserta kekhawatirannya seperti bisa terdengar saja layaknya.
Orang-orang
yang memenuhi ambang pintu, karena ruang menonton tivi keluarga Felix
penuh sesak, dan orang-orang yang melihat dari jendela juga terkesiap,
bahkan berkeringat melihat pemain-pemain Perancis begitu sengit dan
bersemangat menyerang pertahanan Brasil.
“Jangan,
jangan,” suara Ricardo, ayah Felix terdengar lemah, namun cukup untuk
membuat orang-orang di sekelilingnya ikut berharap.
Tapi
sundulan Zidane akhirnya benar-benar memupuskan harapan, ‘jangan’, ayah
Felix. Jala gawang Brasil benar-benar terkoyak oleh bola sundulan tak
terduga yang meluncur cepat seperti meteor itu. Kepala licin Zidane
seketika membangkitkan kebencian orang-orang di depan tivi kecil itu.
Suasana suram yang sunyi kian senyap oleh gol itu. Mereka seperti
merasakan sakit yang sangat hingga tak mampu bersuara.
“Hore! Gol!”
Teriakan
itu kecil dan sendiri. Semua mata lantas menemukan siapa yang girang
karena gol menyakitkan itu. Eva, adik Felix yang berteriak itu.
“Hei, apa maksudmu?”
“Hei, Ricardo, sejak kapan kau mengajari anakmu mendukung Perancis?”
Suara-suara
bernada jengkel sejenak bersahutan. Ricardo tampak jengkel, sebenarnya
ia lebih jengkel kepada orang-orang yang tak tahu diri itu. Hanya anak
kecil yang tak tahu apa arti yang sedang mereka lihat di tivi. Tapi ia
mencoba menahan diri.
“Eva, diam kau. Kau tak tahu apa artinya!”
Eva
diam saja. Ia heran, biasanya ayah dan kakaknya akan senang jika ada
bola masuk ke gawang yang mereka sebut dengan, goool, sambil berteriak
dan berjingkrak kegirangan. Ia memandang kakaknya yang menempelkan ujung
telunjuknya di bibir.
“Brasil
itu yang berbaju kuning, lihat, kau lihat, Ronaldo? Pakai baju kuning.
Itu Brasil. Diamlah, orang-orang bisa memarahi dan memukuli ayah kalau
kau berteriak seperti tadi,” kata Felix pada adiknya dengan setengah
berbisik.
Pertandingan
terus berlangsung, Felix duduk nyaman bersama Eva di sofa berlubang
kesayangan mereka, di mana pada ujung tempat tangan tertumpang di kiri
dan kanan sofa ada lubang yang timbul dari kebiasaan tangan Felix dan
Eva mencerabuti busanya. Lubang itu kian hari kian membesar seperti
lubang tanah di pertambangan.
“Ronaldo
akan membalasnya sebentar lagi,” kata Luis, kawan akrab ayah Felix yang
jika sudah berbincang tentang sejarah sepak bola Brasil sampai lupa
waktu dan berbusa-busa. “Pulang kau, Luis!” terkadang Gracia, ibu Felix
sampai meradang dan mengusirnya.
“Ya,
Perancis pantas malu di rumahnya sendiri,” tukas yang lain dan sejenak
suara mendukung membangkitkan semangat yang sempat ‘terlempar’ oleh
koyaknya gawang Taffarel
Tapi
Brasil belum juga segera membalas. Mereka justru melihat bahwa gol
Zidane membuat Perancis semakin ganas. Berulangkali justru gawang
merekalah yang terus terancam. Semangat yang sempat menyeruak kembali
tenggelam. Tapi tak benar-benar tenggelam. Mereka sangat percaya bahwa
Brasil akan memenangkan kejuaraan ini, membawa pulang Piala Dunia lagi
untuk yang kelima kali.
Empat
tahun lalu mereka memenangkannya di Amerika. Felix masih kecil ketika
itu, ia sudah bisa ikut bergembira tapi belum tahu artinya. Sekarang di
sekolah, Felix sudah tahu tentang Brasil yang sepak bolanya terkenal di
dunia, dan sudah empat kali juara dunia.
Tahun
ini sebentar lagi Brasil akan memenangkannya lagi. Semalam ia sudah tak
sabar menunggu pertandingan ini. Tapi kekecewaan dan kekhawatiran kini
memenuhi pikiran Felix. Brasil sulit untuk mendekati gawang Perancis.
Sebaliknya Perancis terus membuat ia dan orang-orang di depan tivi
tercekam.
Kenyataan
di layar tivi menenggelamkan harapan itu sekali lagi. Zidane mencetak
gol kedua untuk Perancis. Wajah-wajah yang memenuhi rumah Felix kian
suram. Mereka sulit untuk percaya bahwa Brasil dibobol untuk kali kedua.
Kekecewaan itu menjadi semakin sakit ketika Eva kembali bereaksi
kegirangan menyambut gol Zidane.
“Hore! Goool!”
“Diam
kau, tak tahu diri!” ayah Felix berteriak sebelum suara-suara
mendahuluinya. Eva terdiam dan raut muka girangnya hilang seketika
berganti ketakutan. Teriakan Ricardo tak bisa menghentikan suara
menggerutu dari orang-orang itu.
“Hentikan anakmu sebelum dia tumbuh menjadi pengkhianat, Ricardo!”
“Kalau kau tak bisa, kami bisa membungkam mulutnya untukmu!”
“Berhentilah, dia hanya anak kecil. Dia akan menyesal ketika ia dewasa nanti!”
Tapi
kekecewaan dan kemarahan terlanjur melumuri suasana hati mereka. Dua
gol Zidane dan teriakan Eva yang girang menyambutnya membuat suara
menghujat Ricardo terus bersahutan.
“Suruh anakmu yang berhenti, atau tivimu akan kami hancurkan!
“Kuperingatkan kau!”
Suasana
mencekam di rumah Felix kini bukan hanya karena dua gol Zidane yang
menenggelamkan semangat mereka, menenggelamkan harapan Brasil menjuarai
Piala Dunia 1998 di tanah Perancis. Tapi juga karena teriakan girang Eva
menyambut gol Zidane yang membuat mereka melontarkan makian dan
kebencian. Mereka tak peduli selain kekecewaan perasaan mereka karena
kemenangan Brasil sepertinya terasa kian berat setelah dua gol Zidane.
Babak
pertama usai dengan kedudukan 2 – 0 sementara untuk tuan rumah
Perancis. Beberapa orang ada yang pergi karena mereka tak yakin jika
Brasil akan bisa mengembalikan kedudukan. Mencetak satu gol saja
sepertinya sulit dilakukan, sekarang mereka harus membuat tiga gol jika
ingin Piala Dunia kembali pulang ke tanah Brasil.
Tapi
sebagian besar terus bertahan karena mereka percaya Brasil akan menang.
Dan tiupan peluit dimulainya babak kedua kembali membuncahkan harapan
itu. Luis yang tak ubahnya komentator tivi di rumah Felix itu mengatakan
sesuatu yang mempengaruhi orang-orang di sana.
“Di
ruang ganti, pelatih sudah mempersiapkan strategi untuk babak kedua.
Babak pertama memang milik Perancis, tapi babak kedua milik Brasil!”
kata Luis berapi-api.
“Hidup Brasil!”
“Hidup Brasil!”
“Hidup Brasil!”
Teriakan
itu membuat suasana menghangat, kejengkelan oleh dua gol Zidane di
babak pertama dan teriakan Eva yang girang menyambutnya sedikit
terlupakan. Harapan kian menyala terang ketika Dessaily yang licik itu,
menurut mereka, mendapat kartu merah. Luis menjadi pemandu semangat yang
membuat harapan kembali mencuat.
Tapi
harapan yang dikatakan Luis tak terbukti apa-apa di layar. Pemain
Brasil tetap kesulitan membongkar pertahanan Perancis. Mereka sepertinya
bermain dengan cara yang sama di babak pertama. Tak ada yang berubah.
Pemain-pemain Brasil seperti sekumpulan orang-orang bodoh yang
kebingungan oleh cantiknya permainan yang dibuat pemain-pemain Perancis.
Menurut mereka.
“Perancis semakin menggila tampaknya, Luis,”
“Kita harus bersabar. Gol akan datang,”
Mereka
masih percaya sampai ketika akhirnya Emannuel Petit benar-benar
membungkam Brasil dengan golnya untuk melengkapi dua gol Zidane,
sementara waktu sudah hampir habis. Luis tampak lemas, kata-katanya yang
penuh harapan terkubur dalam-dalam. Brasil bobol lagi untuk yang ketiga
kalinya.
0 – 3.
“Goool! Si Kuncir itu hebat!”
Eva
tetap girang menyambut gol Petit. Felix segera membungkam mulut Eva
dengan tangannya. Sejenak, ibunya pun menghambur memeluknya. Karena
orang-orang yang tadi sudah memendam kekesalan pada teriakannya seketika
berdiri mendengar teriakan girang Eva sekali lagi.
“Hei, anak bodoh! Kau tahu apa artinya itu?”
“Ricardo, tivimu itu tidak berguna. Tak bisa membuat anakmu tahu sedihnya rakyat Brasil oleh gol-gol orang Perancis!”
Ayah Felix berdiri dan bertolak pinggang.
“Dia masih anak-anak. Dia tak tahu apa arti ini semua. Dia baru tahu tentang gol!”
“Kau lihat anakku, Ricardo, dia sedih. Dia tahu Brasil bisa kalah dengan tiga gol itu!”
“Mari kita bantu Ricardo menghancurkan tivinya!”
Luis berdiri di samping Ricardo dan menatap orang-orang yang berteriak dan sebagian sudah berdiri dengan kemarahan.
“Kalian ingin menghukum anak kecil?”
“Kau
terlalu banyak bicara, Luis. Apalagi yang bisa kau katakan untuk
membohongi kami, strategi babak kedua? Gol balasan Brasil? Tiga gol di
gawang Brasil untuk Perancis! Pemain-pemain itu bodoh, dan, kau, kau tak
tahu apa-apa!”
“Kenapa
bukan kalian saja tadi yang terbang ke Perancis, membuat gol dan bawa
pulang Piala Dunia ke Brasil. Mereka berlari-lari untuk kita dan kita di
sini bergandengan tangan untuk saling menguatkan, bukan menghujat anak
kecil yang belum tahu apa arti semua ini. Kekalahan ini bukan salahnya!”
Orang-orang diam.
“Tapi teriakannya menyakiti perasaan kami!”
“Jika dia sudah dewasa dan tahu apa arti gol-gol tadi, dia juga akan sakit dengan teriakannya sendiri, dia masih anak-anak!”
Orang-orang
yang masih marah dan kecewa kemudian pergi, membawa kekalahan beserta
kekecewaan yang mereka rasakan sebagai luka. Brasil kalah tiga gol telak
dan seorang anak Brasil girang menyambutnya.
Mendung
menggayut di langit Sao Paulo. Jalanan sepi, tak ada suara terompet dan
pawai berkeliling seperti beberapa hari lalu, ketika Brasil memastikan
diri ke final. Sunyi dan lesu.
“Kenapa
Eva? Ayah sudah menyuruhmu diam, kau tak tahu apa artinya, teriakanmu
bisa menghancurkan rumah ini,” kata Ricardo pada putri kecilnya yang
kecut dan takut karena kemarahan orang-orang hampir saja merusak rumah
mereka.
“Aku
suka warna biru, ayah. Kata Ibu, warna biru adalah warna terindah di
dunia, ” kata Eva lirih. Ricardo, Luis dan Gracia saling berpandangan.
Perlahan mereka mengerti, Eva tak tahu arti yang terlihat di tivi, ia
baru tahu mengagumi warna dengan sederhana, bukan dengan cara orang
dewasa.
Luis
lalu tertawa kecil, disusul Ricardo, dan sedikit senyum Gracia yang
sedikit merasa bersalah, karena apa-apa yang ia katakan mengenai warna
setiap menemani putrinya belajar menggambar, hampir saja membuat rumah
mereka hancur.
*)
Kisah ini fiksi rekaan penulis saja, bukan saduran bukan juga kopian.
Sejarah-sejarah sepak bola tak pernah kehabisan jalan untuk kembali
diceritakan.
gambar
0 komentar:
Posting Komentar