cerita dunia sepak bola

Selasa, Januari 19, 2016

Cerpen Sepak Bola : Kemenangan 'Si Biru' di Brasil

 

Situasi di depan mulut gawang Brasil tampak gawat. Teriakan suporter Perancis yang membahana di dalam stadion Stade de France dan suara reporter televisi yang mengurai kata-kata mendebarkan membuat suasana di depan tivi kecil di rumah keluarga Felix, di perkampungan padat di pinggiran kota Sao Paulo sunyi. Senyap. Degup jantung orang-orang yang bertebaran lantai dengan posisi duduk tak nyaman beserta kekhawatirannya seperti bisa terdengar saja layaknya.

Orang-orang yang memenuhi ambang pintu, karena ruang menonton tivi keluarga Felix penuh sesak, dan orang-orang yang melihat dari jendela juga terkesiap, bahkan berkeringat melihat pemain-pemain Perancis begitu sengit dan bersemangat menyerang pertahanan Brasil.

“Jangan, jangan,” suara Ricardo, ayah Felix terdengar lemah, namun cukup untuk membuat orang-orang di sekelilingnya ikut berharap.

Tapi sundulan Zidane akhirnya benar-benar memupuskan harapan, ‘jangan’, ayah Felix. Jala gawang Brasil benar-benar terkoyak oleh bola sundulan tak terduga yang meluncur cepat seperti meteor itu. Kepala licin Zidane seketika membangkitkan kebencian orang-orang di depan tivi kecil itu. Suasana suram yang sunyi kian senyap oleh gol itu. Mereka seperti merasakan sakit yang sangat hingga tak mampu bersuara.

“Hore! Gol!”

Teriakan itu kecil dan sendiri. Semua mata lantas menemukan siapa yang girang karena gol menyakitkan itu. Eva, adik Felix yang berteriak itu.

“Hei, apa maksudmu?”

“Hei, Ricardo, sejak kapan kau mengajari anakmu mendukung Perancis?”

Suara-suara bernada jengkel sejenak bersahutan. Ricardo tampak jengkel, sebenarnya ia lebih jengkel kepada orang-orang yang tak tahu diri itu. Hanya anak kecil yang tak tahu apa arti yang sedang mereka lihat di tivi. Tapi ia mencoba menahan diri.

“Eva, diam kau. Kau tak tahu apa artinya!”

Eva diam saja. Ia heran, biasanya ayah dan kakaknya akan senang jika ada bola masuk ke gawang yang mereka sebut dengan, goool, sambil berteriak dan berjingkrak kegirangan. Ia memandang kakaknya yang menempelkan ujung telunjuknya di bibir.

“Brasil itu yang berbaju kuning, lihat, kau lihat, Ronaldo? Pakai baju kuning. Itu Brasil. Diamlah, orang-orang bisa memarahi dan memukuli ayah kalau kau berteriak seperti tadi,” kata Felix pada adiknya dengan setengah berbisik.

Pertandingan terus berlangsung,  Felix duduk nyaman bersama Eva di sofa berlubang kesayangan mereka, di mana pada ujung tempat tangan tertumpang di kiri dan kanan sofa ada lubang yang timbul dari kebiasaan tangan Felix dan Eva mencerabuti busanya. Lubang itu kian hari kian membesar seperti lubang tanah di pertambangan.

“Ronaldo akan membalasnya sebentar lagi,” kata Luis, kawan akrab ayah Felix yang jika sudah berbincang tentang sejarah sepak bola Brasil sampai lupa waktu dan berbusa-busa. “Pulang kau, Luis!” terkadang Gracia, ibu Felix sampai meradang dan mengusirnya.

“Ya, Perancis pantas malu di rumahnya sendiri,” tukas yang lain dan sejenak suara mendukung membangkitkan semangat yang sempat ‘terlempar’ oleh koyaknya gawang Taffarel

Tapi Brasil belum juga segera membalas. Mereka justru melihat bahwa gol Zidane membuat Perancis semakin ganas. Berulangkali justru gawang merekalah yang terus terancam. Semangat yang sempat menyeruak kembali tenggelam. Tapi tak benar-benar tenggelam. Mereka sangat percaya bahwa Brasil akan memenangkan kejuaraan ini, membawa pulang Piala Dunia lagi untuk yang kelima kali.

Empat tahun lalu mereka memenangkannya di Amerika. Felix masih kecil ketika itu, ia sudah bisa ikut bergembira tapi belum tahu artinya. Sekarang di sekolah, Felix sudah tahu tentang Brasil yang sepak bolanya terkenal di dunia, dan sudah empat kali juara dunia.

Tahun ini sebentar lagi Brasil akan memenangkannya lagi. Semalam ia sudah tak sabar menunggu pertandingan ini. Tapi kekecewaan dan kekhawatiran kini memenuhi pikiran Felix. Brasil sulit untuk mendekati gawang Perancis. Sebaliknya Perancis terus membuat ia dan orang-orang di depan tivi tercekam.
Kenyataan di layar tivi menenggelamkan harapan itu sekali lagi. Zidane mencetak gol kedua untuk Perancis. Wajah-wajah yang memenuhi rumah Felix kian suram. Mereka sulit untuk percaya bahwa Brasil dibobol untuk kali kedua. Kekecewaan itu menjadi semakin sakit ketika Eva kembali bereaksi kegirangan menyambut gol Zidane.

“Hore! Goool!”

“Diam kau, tak tahu diri!” ayah Felix berteriak sebelum suara-suara mendahuluinya. Eva terdiam dan raut muka girangnya hilang seketika berganti ketakutan. Teriakan Ricardo tak bisa menghentikan suara menggerutu dari orang-orang itu.

“Hentikan anakmu sebelum dia tumbuh menjadi pengkhianat, Ricardo!”

“Kalau kau tak bisa, kami bisa membungkam mulutnya untukmu!”

“Berhentilah, dia hanya anak kecil. Dia akan menyesal ketika ia dewasa nanti!”

Tapi kekecewaan dan kemarahan terlanjur melumuri suasana hati mereka. Dua gol Zidane dan teriakan Eva yang girang menyambutnya membuat suara menghujat Ricardo terus bersahutan.

“Suruh anakmu yang berhenti, atau tivimu akan kami hancurkan!

“Kuperingatkan kau!”

Suasana mencekam di rumah Felix kini bukan hanya karena dua gol Zidane yang menenggelamkan semangat mereka, menenggelamkan harapan Brasil menjuarai Piala Dunia 1998 di tanah Perancis. Tapi juga karena teriakan girang Eva menyambut gol Zidane yang membuat mereka melontarkan makian dan kebencian. Mereka tak peduli selain kekecewaan perasaan mereka karena kemenangan Brasil sepertinya terasa kian berat setelah dua gol Zidane.

Babak pertama usai dengan kedudukan 2 – 0 sementara untuk tuan rumah Perancis. Beberapa orang ada yang pergi karena mereka tak yakin jika Brasil akan bisa mengembalikan kedudukan. Mencetak satu gol saja sepertinya sulit dilakukan, sekarang mereka harus membuat tiga gol jika ingin Piala Dunia kembali pulang ke tanah Brasil.

Tapi sebagian besar terus bertahan karena mereka percaya Brasil akan menang. Dan tiupan peluit dimulainya babak kedua kembali membuncahkan harapan itu. Luis yang tak ubahnya komentator tivi di rumah Felix itu mengatakan sesuatu yang mempengaruhi orang-orang di sana.

“Di ruang ganti, pelatih sudah mempersiapkan strategi untuk babak kedua. Babak pertama memang milik Perancis, tapi babak kedua milik Brasil!” kata Luis berapi-api.

“Hidup Brasil!”

“Hidup Brasil!”

“Hidup Brasil!”

Teriakan itu membuat suasana menghangat, kejengkelan oleh dua gol Zidane di babak pertama dan teriakan Eva yang girang menyambutnya sedikit terlupakan. Harapan kian menyala terang ketika Dessaily yang licik itu, menurut mereka, mendapat kartu merah. Luis menjadi pemandu semangat yang membuat harapan kembali mencuat.

Tapi harapan yang dikatakan Luis tak terbukti apa-apa di layar. Pemain Brasil tetap kesulitan membongkar pertahanan Perancis. Mereka sepertinya bermain dengan cara yang sama di babak pertama. Tak ada yang berubah. Pemain-pemain Brasil seperti sekumpulan orang-orang bodoh yang kebingungan oleh cantiknya permainan yang dibuat pemain-pemain Perancis. Menurut mereka.

“Perancis semakin menggila tampaknya, Luis,”

“Kita harus bersabar. Gol akan datang,”

Mereka masih percaya sampai ketika akhirnya Emannuel Petit benar-benar membungkam Brasil dengan golnya untuk melengkapi dua gol Zidane, sementara waktu sudah hampir habis. Luis tampak lemas, kata-katanya yang penuh harapan terkubur dalam-dalam. Brasil bobol lagi untuk yang ketiga kalinya.

0 – 3.

“Goool! Si Kuncir itu hebat!”

Eva tetap girang menyambut gol Petit. Felix segera membungkam mulut Eva dengan tangannya. Sejenak, ibunya pun menghambur memeluknya. Karena orang-orang yang tadi sudah memendam kekesalan pada teriakannya seketika berdiri mendengar teriakan girang Eva sekali lagi.

“Hei, anak bodoh! Kau tahu apa artinya itu?”

“Ricardo, tivimu itu tidak berguna. Tak bisa membuat anakmu tahu sedihnya rakyat Brasil oleh gol-gol orang Perancis!”

Ayah Felix berdiri dan bertolak pinggang.

“Dia masih anak-anak. Dia tak tahu apa arti ini semua. Dia baru tahu tentang gol!”

“Kau lihat anakku, Ricardo, dia sedih. Dia tahu Brasil bisa kalah dengan tiga gol itu!”

“Mari kita bantu Ricardo menghancurkan tivinya!”

Luis berdiri di samping Ricardo dan menatap orang-orang yang berteriak dan sebagian sudah berdiri dengan kemarahan.

“Kalian ingin menghukum anak kecil?”

“Kau terlalu banyak bicara, Luis. Apalagi yang bisa kau katakan untuk membohongi kami, strategi babak kedua? Gol balasan Brasil? Tiga gol di gawang Brasil untuk Perancis! Pemain-pemain itu bodoh, dan, kau, kau tak tahu apa-apa!”

“Kenapa bukan kalian saja tadi yang terbang ke Perancis, membuat gol dan bawa pulang Piala Dunia ke Brasil. Mereka berlari-lari untuk kita dan kita di sini bergandengan tangan untuk saling menguatkan, bukan menghujat anak kecil yang belum tahu apa arti semua ini. Kekalahan ini bukan salahnya!”

Orang-orang diam.

“Tapi teriakannya menyakiti perasaan kami!”

“Jika dia sudah dewasa dan tahu apa arti gol-gol tadi, dia juga akan sakit dengan teriakannya sendiri, dia masih anak-anak!”

Orang-orang yang masih marah dan kecewa kemudian pergi, membawa kekalahan beserta kekecewaan yang mereka rasakan sebagai luka. Brasil kalah tiga gol telak dan seorang anak Brasil girang menyambutnya.
Mendung menggayut di langit Sao Paulo. Jalanan sepi, tak ada suara terompet dan pawai berkeliling seperti beberapa hari lalu, ketika Brasil memastikan diri ke final. Sunyi dan lesu.

“Kenapa Eva? Ayah sudah menyuruhmu diam, kau tak tahu apa artinya, teriakanmu bisa menghancurkan rumah ini,” kata Ricardo pada putri kecilnya yang kecut dan takut karena kemarahan orang-orang hampir saja merusak rumah mereka.

“Aku suka warna biru, ayah. Kata Ibu, warna biru adalah warna terindah di dunia, ” kata Eva lirih. Ricardo, Luis dan Gracia saling berpandangan. Perlahan mereka mengerti, Eva tak tahu arti yang terlihat di tivi, ia baru tahu mengagumi warna dengan sederhana, bukan dengan cara orang dewasa.

Luis lalu tertawa kecil, disusul Ricardo, dan sedikit senyum Gracia yang sedikit merasa bersalah, karena apa-apa yang ia katakan mengenai warna setiap menemani putrinya belajar menggambar, hampir saja membuat rumah mereka hancur.


*) Kisah ini fiksi rekaan penulis saja, bukan saduran bukan juga kopian. Sejarah-sejarah sepak bola tak pernah kehabisan jalan untuk kembali diceritakan.
gambar

0 komentar:

Posting Komentar