cerita dunia sepak bola

Sabtu, Januari 16, 2016

Jangan Pikir Kejar Guardiola, Zidane!

 

Menarik untuk mencermati keputusan Real Madrid memecat Rafael Benitez di separuh musim dan menggantinya dengan mantan bintang mereka Zinedine Zidane. Banyak yang mengatakan Real Madrid meniru apa yang dilakukan Barcelona dengan mencoba memberi kepercayaan kepada mantan pemainnya – meskipun yang bersangkutan masih minim pengalaman dalam hal kepelatihan – karena satu kelebihan bahwa mantan pemain mengenal lebih baik klub beserta filosofinya dibanding pelatih yang tak pernah mengenal klub itu sebelumnya.

Berbekal pengalaman melatih Tim Real Madrid Castilla atau Tim Madrid B, Zidane mengambil tanggung jawab melatih tim utama Madrid. Hal yang tentu saja menjadikan banyak pengamat meragukan kemampuannya mengingat Madrid adalah tim dengan segudang ambisi. Meski dipenuhi deretan pemain bintang, pada kenyataannya banyak pelatih berkaliber yang silih berganti dipecat oleh Florentino Perez karena tak bisa memenuhi ‘target-target tinggi’ yang dibebankan klub di setiap musim.
Zidane boleh percaya diri. Pada awalnya toh Pep Guardiola juga diragukan banyak pihak, karena pengalaman Guardiola waktu itu sama dengan dirinya, mantan pelatih Tim B di klub masing-masing sebelumnya. Nyatanya di musim pertama Guardiola memberi Barca treble winner, bahkan kemudian meyapu bersih semua trofi yang bisa diraih sebuah klub dalam satu musim (Piala Super Eropa, Piala Super Spanyol, dan Piala Dunia Antar Klub). Dalam seketika ‘bendera’ Pep Guardiola terkerek tinggi-tinggi karena prestasi itu.
Hal yang sama juga dialami Luis Enrique, yang walaupun lebih lumayan berpengalaman dalam melatih sebelum menukangi Barca, tapi hanya dianggap pelatih medioker karena ketika melatih AS Roma dan Celta Vigo, prestasi Enrique biasa-biasa saja. tapi siapa sangka, ia mampu mengikuti jejak pendahulunya, Pep, dengan meraih treble di musim pertamanya, lalu juga nyaris menyapu bersih semua trofi yang bisa diraih jika tak kehilangan Piala Super Spanyol yang berhasil dicuri oleh Athletic Bilbao.
Tentu saja peluang Zidane untuk mencapai prestasi seperti Pep Guardiola atau setidaknya Luis Enrique terbuka sangat lebar, mengingat Madrid memiliki sejarah prestasi mengkilap dan memiliki barisan pemain bintang serta dukungan dana besar. Zidane pun tentu memiliki filosofi dalam melatih, memiliki visi, sedikit pengalaman baik sebagai pemain top dengan deretan prestasi dan trofi maupun sebagai pelatih Tim Real Madrid Castilla (yang sedikit banyak pasti berguna) dan tentu saja, ambisi.
Tapi jalan Zidane akan jauh lebih terjal daripada Pep maupun Enrique. Barcelona adalah klub yang ‘mampu’ membuat para pemain mereka membumi, bekerja keras sebagai sebuah tim dengan kerendahan hati dan kebersamaan kuat. Zlatan Ibrahimovic adalah salah satu pemain yang mungkin tak cocok dengan atmosfir di Barcelona, maka ia hanya bertahan satu musim saja di sana. Selebihnya, para bintang meninggalkan catatan prestasi selama bermain untuk Barcelona. Luis Suarez yang sebelumnya ‘liar’ belakangan semakin jinak dan media lebih banyak menyoroti prestasi dan kontribusinya bersama Lionel Messi dan Neymar. Pelatih datang dan pergi, tapi hampir tak pernah ada masalah antara pemain dengan pelatih.
Sebaliknya, ini kerap kali terjadi di Real Madrid. Mereka lebih sering disebut kumpulan para bintang, bukan tim dengan pemain bintang. Para bintang, karena kebintangannya memiliki ego masing-masing dan ego itu tumbuh subur pada masing-masing pemiliknya. Banyak pelatih yang gagal mengendalikan ego mereka karena kebanyakan pemain bintang dengan ego memiliki selera sendiri, oleh siapa ia ingin dilatih.
Maka ketika pelatih yang ditunjuk klub tak sesuai dengan harapan mereka, kita seringkali melihat sebuah klub dengan pemain bintang yang bermain sendiri-sendiri. Dan hal-hal yang muncul ke publik biasanya hal-hal yang berkaitan dengan ketidakserasian hubungan pelatih dan pemain.
Jika melongok ke belakang, hal demikian terjadi di hampir setiap era kepelatihan. Sebut saja di era Jose Mourinho yang tak harmonis dengan beberapa pemain, sehingga masa kepelatihannya di Madrid hanya menorehkan beberapa gelar saja. Hal itu berlanjut di era Carlo Ancelotti yang meskipun sempat memberi trofi Liga Champions ke sepuluh (La Decima), tapi ia juga diguncang ketidakharmonisan dengan beberapa pemain kunci dan membuat musim 2014/2015 berakhir tanpa gelar apapun.
Isu ketidakharmonisan pelatih berikutnya, Rafel Benitez bahkan sudah terasa di awal ia mulai menerima tanggung jawab melatih Real Madrid. Beberapa pemain menyatakan ketidaksukaannya dengan sang pelatih dan meskipun ditutup-tutupi dari media, toh akhirnya tercium juga.
Beberapa kekalahan, termasuk kekalahan memalukan 0 – 4 dalam duel El Clasico melawan Barcelona di Santiago Bernabeau, membuat kursi Benitez digoyang petinggi dan fans, bahkan beberapa pemain. Pada akhirnya mereka tak bisa lebih sabar menunggu kerja Benitez, mereka lebih suka untuk menaruh harapan pada orang lain lagi, dan orang itu adalah Zidane sang mantan bintang.
Pekerjaan Pep atau Enrique di Barcelona bukan pekerjaan mudah. Prestasi yang ditorehkan bukan kebetulan, melainkan buah kerja sangat keras. Tapi bisa dikatakan karakter dan atmosfir di Barcelona mempermudah kerja Pep maupun Enrique, yaitu mereka hampir tak memiliki masalah yang berkaitan dengan hubungan pemain-pelatih. Enrique memang sempat diguncang isu disharmonis dengan Lionel Messi, tapi sekali lagi atmosfir klub membuat mereka menyingkirkan ego masing-masing untuk kembali menjadi sebuah tim. Hasilnya, treble winner di akhir musim pertama Enrique.
Minim pengalaman melatih bukan satu-satunya keraguan terhadap Zidane, melainkan juga karakter klub dan karakter sejumlah bintangnya yang diyakini menghambat kerja Zidane. Menciptakan atmosfir baru di mana semua merasa nyaman untuk bekerja sama dengannya tentu bukan pekerjaan mudah dan tak memakan waktu. Gelar dan trofi bukanlah hal yang asing bagi Madrid, tapi kenyataannya adalah gelar dan trofi itu hanya menyatukan mereka pada saat mereka mengangkatnya tinggi-tinggi, tak menyatukan mereka ketika mereka kembali berlatih dan pertandingan berikutnya.
Butuh waktu, sekali lagi butuh waktu. Masalahnya adalah, apakah petinggi dan fans mereka sabar jika di akhir musim Zidane tak memberi mereka satu pun trofi. Hanya gelar dan trofi yang diinginkan Real Madrid. Mereka memiliki banyak sekali trofi sejak mereka berdiri. Tapi mereka masih belum memiliki apa yang dimiliki Bercelona. Paling tidak keinginan membuat para pemain (bintang) mereka membumi, bekerja keras sebagai sebuah tim dengan kerendahan hati dan kebersamaan kuat.
Prestasi memang bukan untuk dibandingkan. Sebagai pemain Guardiola tentu kalah mencorong dengan Zidane yang bergelimang gelar baik bersama beberapa klub maupun tim nasional Perancis. Tapi dalam hal melatih Zidane masih menunggu waktu untuk bisa sehebat Guardiola, bahkan Enrique. Kesempatan besar memang adalah sekarang, di mana ia berkesempatan menangani tim besar dengan sejarah yang mengakar kuat di mana ia pun pernah memperkuatnya dengan gelimang prestasi, namun juga dengan ‘PR’ besar. Dan waktu akan membuktikannya.
---
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Kanal Bola Kompasiana. Selengkapnya di http//:www.kompasiana.com/sigandi

  1 komentar:

  1. Dipersilakan bagi yang ingin sharing di sini, ruang komentar bisa kita jadikan forum berbagi cerita tentang sepak bola

    BalasHapus