Jangan Pikir Kejar Guardiola, Zidane!
Menarik untuk mencermati keputusan Real Madrid memecat Rafael Benitez di separuh musim dan menggantinya dengan mantan bintang mereka Zinedine Zidane. Banyak yang mengatakan Real Madrid meniru apa yang dilakukan Barcelona dengan mencoba memberi kepercayaan kepada mantan pemainnya – meskipun yang bersangkutan masih minim pengalaman dalam hal kepelatihan – karena satu kelebihan bahwa mantan pemain mengenal lebih baik klub beserta filosofinya dibanding pelatih yang tak pernah mengenal klub itu sebelumnya.
Berbekal
pengalaman melatih Tim Real Madrid Castilla atau Tim Madrid B, Zidane
mengambil tanggung jawab melatih tim utama Madrid. Hal yang tentu saja
menjadikan banyak pengamat meragukan kemampuannya mengingat Madrid
adalah tim dengan segudang ambisi. Meski dipenuhi deretan pemain
bintang, pada kenyataannya banyak pelatih berkaliber yang silih berganti
dipecat oleh Florentino Perez karena tak bisa memenuhi ‘target-target
tinggi’ yang dibebankan klub di setiap musim.
Zidane
boleh percaya diri. Pada awalnya toh Pep Guardiola juga diragukan
banyak pihak, karena pengalaman Guardiola waktu itu sama dengan dirinya,
mantan pelatih Tim B di klub masing-masing sebelumnya. Nyatanya di
musim pertama Guardiola memberi Barca treble winner, bahkan kemudian
meyapu bersih semua trofi yang bisa diraih sebuah klub dalam satu musim
(Piala Super Eropa, Piala Super Spanyol, dan Piala Dunia Antar Klub).
Dalam seketika ‘bendera’ Pep Guardiola terkerek tinggi-tinggi karena
prestasi itu.
Hal
yang sama juga dialami Luis Enrique, yang walaupun lebih lumayan
berpengalaman dalam melatih sebelum menukangi Barca, tapi hanya dianggap
pelatih medioker karena ketika melatih AS Roma dan Celta Vigo, prestasi
Enrique biasa-biasa saja. tapi siapa sangka, ia mampu mengikuti jejak
pendahulunya, Pep, dengan meraih treble di musim pertamanya, lalu juga
nyaris menyapu bersih semua trofi yang bisa diraih jika tak kehilangan
Piala Super Spanyol yang berhasil dicuri oleh Athletic Bilbao.
Tentu
saja peluang Zidane untuk mencapai prestasi seperti Pep Guardiola atau
setidaknya Luis Enrique terbuka sangat lebar, mengingat Madrid memiliki
sejarah prestasi mengkilap dan memiliki barisan pemain bintang serta
dukungan dana besar. Zidane pun tentu memiliki filosofi dalam melatih,
memiliki visi, sedikit pengalaman baik sebagai pemain top dengan deretan
prestasi dan trofi maupun sebagai pelatih Tim Real Madrid Castilla
(yang sedikit banyak pasti berguna) dan tentu saja, ambisi.
Tapi
jalan Zidane akan jauh lebih terjal daripada Pep maupun Enrique.
Barcelona adalah klub yang ‘mampu’ membuat para pemain mereka membumi,
bekerja keras sebagai sebuah tim dengan kerendahan hati dan kebersamaan
kuat. Zlatan Ibrahimovic adalah salah satu pemain yang mungkin tak cocok
dengan atmosfir di Barcelona, maka ia hanya bertahan satu musim saja di
sana. Selebihnya, para bintang meninggalkan catatan prestasi selama
bermain untuk Barcelona. Luis Suarez yang sebelumnya ‘liar’ belakangan
semakin jinak dan media lebih banyak menyoroti prestasi dan
kontribusinya bersama Lionel Messi dan Neymar. Pelatih datang dan pergi,
tapi hampir tak pernah ada masalah antara pemain dengan pelatih.
Sebaliknya,
ini kerap kali terjadi di Real Madrid. Mereka lebih sering disebut
kumpulan para bintang, bukan tim dengan pemain bintang. Para bintang,
karena kebintangannya memiliki ego masing-masing dan ego itu tumbuh
subur pada masing-masing pemiliknya. Banyak pelatih yang gagal
mengendalikan ego mereka karena kebanyakan pemain bintang dengan ego
memiliki selera sendiri, oleh siapa ia ingin dilatih.
Maka
ketika pelatih yang ditunjuk klub tak sesuai dengan harapan mereka,
kita seringkali melihat sebuah klub dengan pemain bintang yang bermain
sendiri-sendiri. Dan hal-hal yang muncul ke publik biasanya hal-hal yang
berkaitan dengan ketidakserasian hubungan pelatih dan pemain.
Jika
melongok ke belakang, hal demikian terjadi di hampir setiap era
kepelatihan. Sebut saja di era Jose Mourinho yang tak harmonis dengan
beberapa pemain, sehingga masa kepelatihannya di Madrid hanya menorehkan
beberapa gelar saja. Hal itu berlanjut di era Carlo Ancelotti yang
meskipun sempat memberi trofi Liga Champions ke sepuluh (La Decima),
tapi ia juga diguncang ketidakharmonisan dengan beberapa pemain kunci
dan membuat musim 2014/2015 berakhir tanpa gelar apapun.
Isu
ketidakharmonisan pelatih berikutnya, Rafel Benitez bahkan sudah terasa
di awal ia mulai menerima tanggung jawab melatih Real Madrid. Beberapa
pemain menyatakan ketidaksukaannya dengan sang pelatih dan meskipun
ditutup-tutupi dari media, toh akhirnya tercium juga.
Beberapa
kekalahan, termasuk kekalahan memalukan 0 – 4 dalam duel El Clasico
melawan Barcelona di Santiago Bernabeau, membuat kursi Benitez digoyang
petinggi dan fans, bahkan beberapa pemain. Pada akhirnya mereka tak bisa
lebih sabar menunggu kerja Benitez, mereka lebih suka untuk menaruh
harapan pada orang lain lagi, dan orang itu adalah Zidane sang mantan
bintang.
Pekerjaan
Pep atau Enrique di Barcelona bukan pekerjaan mudah. Prestasi yang
ditorehkan bukan kebetulan, melainkan buah kerja sangat keras. Tapi bisa
dikatakan karakter dan atmosfir di Barcelona mempermudah kerja Pep
maupun Enrique, yaitu mereka hampir tak memiliki masalah yang berkaitan
dengan hubungan pemain-pelatih. Enrique memang sempat diguncang isu
disharmonis dengan Lionel Messi, tapi sekali lagi atmosfir klub membuat
mereka menyingkirkan ego masing-masing untuk kembali menjadi sebuah tim.
Hasilnya, treble winner di akhir musim pertama Enrique.
Minim
pengalaman melatih bukan satu-satunya keraguan terhadap Zidane,
melainkan juga karakter klub dan karakter sejumlah bintangnya yang
diyakini menghambat kerja Zidane. Menciptakan atmosfir baru di mana
semua merasa nyaman untuk bekerja sama dengannya tentu bukan pekerjaan
mudah dan tak memakan waktu. Gelar dan trofi bukanlah hal yang asing
bagi Madrid, tapi kenyataannya adalah gelar dan trofi itu hanya
menyatukan mereka pada saat mereka mengangkatnya tinggi-tinggi, tak
menyatukan mereka ketika mereka kembali berlatih dan pertandingan
berikutnya.
Butuh
waktu, sekali lagi butuh waktu. Masalahnya adalah, apakah petinggi dan
fans mereka sabar jika di akhir musim Zidane tak memberi mereka satu pun
trofi. Hanya gelar dan trofi yang diinginkan Real Madrid. Mereka
memiliki banyak sekali trofi sejak mereka berdiri. Tapi mereka masih
belum memiliki apa yang dimiliki Bercelona. Paling tidak keinginan
membuat para pemain (bintang) mereka membumi, bekerja keras sebagai
sebuah tim dengan kerendahan hati dan kebersamaan kuat.
Prestasi
memang bukan untuk dibandingkan. Sebagai pemain Guardiola tentu kalah
mencorong dengan Zidane yang bergelimang gelar baik bersama beberapa
klub maupun tim nasional Perancis. Tapi dalam hal melatih Zidane masih
menunggu waktu untuk bisa sehebat Guardiola, bahkan Enrique. Kesempatan
besar memang adalah sekarang, di mana ia berkesempatan menangani tim
besar dengan sejarah yang mengakar kuat di mana ia pun pernah
memperkuatnya dengan gelimang prestasi, namun juga dengan ‘PR’ besar.
Dan waktu akan membuktikannya.
---
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Kanal Bola Kompasiana. Selengkapnya di http//:www.kompasiana.com/sigandi
Dipersilakan bagi yang ingin sharing di sini, ruang komentar bisa kita jadikan forum berbagi cerita tentang sepak bola
BalasHapus