cerita dunia sepak bola

Terbaru

Jumat, Juli 08, 2016

Jago Kandang

Dalam tiga gelaran turnamen major terakhir, Perancis selalu lolos ke partai final. Dua turnamen sebelumnya, Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998 berakhir dengan kemenangan dan gelar juara. Di partai puncak Piala Eropa 2016 ini, Perancis kembali akan tampil di final dengan peluang yang demikian besar.

Sejarah telah membuktikan bahwa setiap kali perhelatan turnamen major digelar di rumah mereka, Perancis selalu tampil perkasa dan sukses menyabet gelar. Mereka boleh loyo jika turnamen berlangsung di negara lain, tapi sebagaimana di Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998, Perancis begitu perkasa di rumahnya.

Akankah Perancis melakukan hattrick?

Peluang untuk itu terbuka sangat lebar. Selain sugesti sejarah, Perancis saat ini juga diisi beberapa bintang yang sedang bersinar di klub masing-masing. Fakta lain adalah bahwa mereka juga tampil konsisten sejak fase grup, ditambah kenyataan bahwa lawan mereka di final, Portugal adalah tim yang perjalanannya sampai ke final diwarnai keberuntungan.

Selangkah lagi Perancis akan membuat sejarah, dan sejarah menahbiskan mereka sebagai jago kandang, seperti logo di kaosmereka.

Kamis, Juli 07, 2016

Keberuntungan Portugal

Keberuntungan mewarnai laju Portugal di gelaran Euro 2016. Tampil inkonsisten di fase grup dengan hanya memetik tiga kali hasil imbang, Portugal justru mulus melaju hingga merebut satu tempat di final. Sampai seminal, Portugal bahkan tak pernah mampu memenangkan pertandingan di waktu normal. 

Di babak 16 besar, mereka menyingkirkan Kroasia di menit akhir perpanjangan waktu. Keberuntungan berlanjut di babak perempat final dengan menyingkirkan Polandia melalui adu penalti. Mereka baru bisa menang di waktu normal di partai semifinal melawan tim debutan yang membawa kejutan, Wales.

Kini mereka sudah menempati satu tempat di final dan menunggu pemenang antara tuan rumah Perancis dan Jerman. Ini merupakan final kedua Portugal di ajang Euro. Final pertama mereka adalah tahun 2004 ketika mereka bertindak sebagai tuanrumah di mana mereka dipecundangi Yunani dengan skor 1 - 0. 

Kini mereka kembali menjejakkan kaki di final, satu kesempatan yang tak akan disia-siakan oleh Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan meski siapa pun yang akan mereka hadapi di final nanti jelas adalah lawan yang berat. Perancis adalah tim yang telah memenangi dua turnamen major terakhir yang berlangsung di sana. Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998. Sementara lawan Perancis di semifinal adalah Jerman yang dua tahun lalu merebut gelar juara dunia keempatnya.

Jumat, Februari 05, 2016

Cerpen Sepak Bola : Siapa Namamu, Hugo?



Oleh : Adri Wahyono 


Ia berlari penuh semangat. Kedai yang menjual ayam dan kentang adalah tempat yang ditujunya. Kedai itu sudah terlihat, tapi rasanya ayunan larinya tak segera membawanya sampai. Pikirannya bercampur antara tak sabar, bayangan ayam dan kentang yang sedap, dan rasa lapar. Pikirannya penuh semangat, tapi lapar membuat kaki-kakinya lemah.

“Hei, Hugo. Kau tak main bola bersama kami?” seorang anak menghentikan keasyikannya bermain sepak bola, sementara beberapa temannya yang lain serentak ikut berhenti.

“Ah, nantilah. Aku sedang sibuk sekali,” jawabnya tanpa memperlambat sedikit pun kecepatan berlarinya.

“Sibuk apa dia rupanya?” tanya seorang anak yang bertubuh paling pendek di antara mereka yang bermain bola. Yang ditanya, yaitu anak yang memanggil Hugo tadi cuma mengangkat kedua bahunya. Karena tak ada jawaban apa pun, maka permainan sepak bola di tanah lapang di dekat pasar itu berlanjut lagi. Kaki-kaki kecil berebut bola untuk di tendang kencang-kencang. Suara mulut yang beradu dengan gedebug kaki-kaki mereka menghentak tanah berdebu adalah suara yang setiap waktu terdengar di sana.

Hugo sudah sampai di kedai sekarang. Nafasnya tersengal-sengal dan ia merasa matanya berkunang-kunang. Berlari dalam lapar seringkali membuatmu merasa mau mati

“Ah, anak si miskin Carlito. Nah, apa yang kau inginkan di sini? Ibumu menyuruh kau hutang sekantung gandum?” Franco si pemilik kedai menyapanya. Ia seorang yang tubuhnya seperti balon karet yang menggembung, dan setiap saat selalu mengunyah makanan.

Hugo menggeleng. Nafasnya masih terlalu liar untuk diatur. Ia tak sabar ingin menjawab. Tapi kelelahan dari berlari memaksanya untuk menunggu sampai nafasnya benar-benar kembali teratur.

“Ah, bocah malang, kasihan sekali kau, terlihat lelah dan lapar. Kau tentu tak bisa berpikir dalam keadaan lapar seperti itu di sekolah.”

“Ibu menyuruhku membeli ayam dan kentang,” sahut Hugo akhirnya.

“Ah, ayam dan kentang,” kata Franco penuh semangat, “akhirnya istri si miskin Carlito membeli juga sesuatu padaku, kita lihat berapa uang yang diberikan ibumu. Aku harap cukup untuk seekor ayam utuh dan satu pon kentang. Tak bisa kubayangkan jika hanya cukup untuk setengah ekor ayam dan dua buah kentang saja, tentu sudah akan habis sebelum kalian merasa kenyang.”

Hugo memberikan uang yang digenggamnya sedari tadi kepada Franco. Mata Franco mendelik melihat uang itu di tangannya.

“Ah, jangan katakan padaku bahwa si miskin Carlito ayahmu itu baru saja menemukan sekotak harta karun. Banyak sekali uang kalian. Ini cukup untuk lima ekor ayam dan sepuluh pon kentang. Ibumu memang menyuruhmu membeli ayam dan kentang sebanyak itu?” tanya Franco.

“Ada apa Franco?” seorang perempuan, yang tubuhya tak kalah bulat dari Franco mendekat. Dia adalah Salma, istri Franco. Sepanjang waktu mereka ada di kedai. Seseorang yang datang ke sana akan menemukan sepasang balon karet besar.

“Ah, sayang, lihat, anak si miskin Carlito datang untuk membeli ayam dan kentang. Kau lihat berapa uangnya?” Franco memperlihatkan uang dari Hugo kepada Salma.

“Wah, dari mana ayahmu mendapat uang sebanyak itu?” tanya Salma kepada Hugo.

Hugo menggeleng dengan sedikit kesal. Suami istri itu terlalu banyak bicara.

“Berikan saja aku ayam dan kentang. Tapi ibuku menyuruhku membeli dua ekor ayam saja dan tiga pon kentang, sisanya untuk membeli gandum, bawang dan rempah-rempah, kau yang tahu, apa saja itu,” kata Hugo. “Apa uangnya cukup?”

“Ah, anak si miskin Carlito. Kau sebenarnya sangat cerdas, sayang ayahmu membuatmu tampak konyol. Aku akan memberimu apa-apa yang kau inginkan, mungkin kau akan kerepotan saat membawanya pulang,” sahut Franco. Ia kemudian sibuk mengambil ini, mengambil itu, membungkus ayam, kentang, dan seterusnya.

Nafas Hugo sudah kembali normal sekarang. Rasa nyeri karena lapar makin menusuk-nusuk perutnya. Tapi ia tak merasa menderita seperti sebelumnya, karena jelas ayam dan kentang akan membebaskannya dalam waktu tak lama lagi.

Barang-barang yang terbeli dari uang itu sungguh-sungguh sangat banyak. Ia tak yakin akan bisa membawanya sendiri.

“Kau bisa membawanya dengan kedua tanganmu, anak si miskin Carlito?” tanya Franco.

Hugo merasa ragu. Seharusnya bisa, jika hanya sekantung gandum seperti sebelumnya. Tapi sekali ini sungguh sangat banyak. Gandum yang diberikan Franco saja sekarung besar, masih ada dua ekor ayam, kentang, dan entah apa lagi.

“Ah, untuk kemurahan hati kalian sudah belanja cukup banyak padaku, mari kuantar,” kata Franco, “sayang, kau tunggu di sini, aku akan mengantar anak si miskin Carlito ini.”

“Pergilah.”

Franco berjalan dengan caranya yang tampak repot keluar dari kedainya dan mendekat ke truk tua merahnya. Ia menyuruh Hugo menaikkan barang-barang belanjaannya ke atas truk dan ia sendiri naik di sana.

------

Melihat truk Franco berhenti tepat di depan rumahnya, Gina Carlos merasa sedikit ketakutan. Ia kemudian sibuk mengingat-ingat hutang yang mungkin masih ada. Franco tak pernah datang untuk menagih. Ia memang sering mengucapkan kata-kata yang sangat menusuk, tapi pada kenyataannya, lelaki gendut itu tetap memberikan sekantung gandum atau apa pun yang diinginkannya, dan membiarkan sampai ia punya uang untuk membayarnya

“Ah, istri si miskin Carlito, tentu hari ini keberuntungan sedang ingin datang ke rumah kalian. Tapi rupanya kau ini sungguh keterlaluan, kau suruh Hugo belanja sebanyak itu. Apa kau lupa kalau ia pasti tak bisa membawanya sendiri jika kau suruh ia membeli dua ekor ayam, tiga pon kentang, sekarung gandum, dan rempah-rempah sebanyak itu?” Franco turun dari truk dan mendatangi Gina Carlos yang berdiri di pintu.

“Kupikir kau datang untuk menagih hutang padaku, Franco. Ternyata kau berbaik hati mengantarkan Hugo membawa pulang barang belanjaannya. Tapi, apa? Hugo belanja padamu?”

Gina Carlos berlari mendapati Hugo yang baru saja melompat turun dari atas truk merah Franco.

“Ah, kau belum terlalu tua untuk menjadi pelupa, istri si miskin Carlito, apa mungkin aku juga akan begitu jika aku semiskin kalian? bukankah kau sendiri yang menyuruh anakmu belanja padaku?” tanya Franco sambil terkekeh dan bertolak pinggang.

“Tidak, aku tak menyuruh Hugo belanja, Franco. Pulang dari sekolah ia pergi, dan itu dilakukannya karena ia marah padaku, tak sesuatu pun yang bisa di makan.”

“Kau tak memberinya uang?” tanya Franco.

“Uang? Tidak. Kami tak punya uang hari ini, maka tak ada makanan ketika Hugo pulang dari sekolah. Aku baru saja ingin menyuruhnya datang padamu untuk berhutang sekantung gandum, tapi ia telah pergi sebelum aku sempat menyuruhnya,” kata Gina sambil melihat Hugo yang sibuk menurunkan barang belanjaan dari atas truk.

“Ah, istri si miskin Carlito, aku tak tahu apa maksudmu. Kau lihat, anakmu datang padaku dan berbelanja. Dia tadi berkata, ‘ibuku menyuruhku membeli dua ekor ayam, tiga pon kentang, sekarung gandum, dan rempah-rempah,’, begitulah katanya padaku,” ujar Franco sambil menggerak-gerakkan kedua tangan gemuknya.

“Tidak, Franco, aku tak memberinya uang dan tak menyuruhnya belanja. Sudah kubilang, kami tak punya uang hari ini.”

“Ah, anak si miskin Carlito, kau membuatku bingung. Ibumu tak memberimu uang dan tak menyuruhmu belanja padaku. Tentu kau bisa menjelaskan ini, bukan? Apa ayahmu yang memberimu uang?” Franco mendekati Hugo dan memegang kedua bahunya.

Hugo menggeleng.

“Ayahmu memberi kau uang, dan menyuruhmu...?”

“Tidak, tidak,” Hugo memotong pertanyaan ibunya.

“Kau mencuri?” pertanyaan Gina Carlos yang mengandung kecurigaan langsung ditujukan pada anaknya membuat Franco ikut mendekat pada Hugo dan menginginkan jawaban selekasnya.

“Aku tidak mencurinya,” sahut Hugo tenang.

“Lalu? Jangan katakan kalau kau disuruh seseorang untuk mengantarkan sesuatu pada seseorang lainnya dengan diam-diam dan ia memberimu uang. Polisi bisa menangkapmu jika benar begitu. Kau akan dituduh terlibat bisnis obat-obatan terlarang dan dipenjara!” kata Gina Carlos pelan tapi penuh tekanan. Tangannya mengguncang-guncangkan kedua bahu anak lelakinya.

Hugo menggeleng.

“Kalau begitu, dari mana, atau, dari siapa?”

“Dari seseorang,” sahut Hugo. Gina Carlos tampak lemas. Kedua bahunya turun dan ia tampak putus asa seketika.

“Aku akan menceritakan pada ibu dan Paman Franco, tapi perutku lapar sekali. Bisakah ibu memasak ayam dan kentang itu sebelum aku menceritakannya?”

“Tidak, Hugo, kau harus menceritakan dari mana uang untuk belanja itu!” kata Gina tegas. Franco hanya menggumam-gumam dengan kata-kata yang kurang lebih ditujukan agar Hugo menceritakan asal uangnya dan menakutinya dengan kata-kata tentang penjara yang pengap, kotor, dan siksaan polisi.

“Aku lapar sekali, Bu. Aku berjanji akan menceritakan jika perutku sudah kenyang. Paman Franco biar ikut kita makan dan mendengarkan ceritanya,” Hugo memegangi perutnya dan duduk di atas tanah.

Gina Carlos memandangi Franco yang mengangkat kedua bahunya.

“Ah, aku tak melihat sesuatu yang harus dikhawatirkan padanya, istri si miskin Carlito. Percayalah padaku, buatkan ia makanan karena ia sudah sangat lapar,” kata Franco pelan.

Gina Carlos tampak ragu.

“Ah, kau membuatku bingung, anak si miskin Carlito,” seru Franco kepada Hugo.

“Tinggallah sebentar sampai masakan ibu siap dan kita makan sambil mendengar ceritaku, Paman,” sahut Hugo.
“Kalau kalian tak keberatan,” kata Franco.

“Tentu saja tidak, Franco,” kata Gina Carlos, “tapi aku tak akan memaafkanmu jika kau mendapat uangmu dari penjahat yang menyuruhmu belajar menjadi penjahat kecil, Hugo!”

“Tenanglah, sampai kau mendengar semuanya, istri si miskin Carlito.”

------

Carlos, ayah Hugo datang tepat pada saat ayam dan kentang siap di meja makan. Ia tentu saja terkejut karena menemukan meja makan yang penuh berisi makanan, dan menemukan si gendut Franco yang tampaknya juga siap untuk ikut menghabiskannya.

“Apa yang kau lakukan di sini, Franco?” tanya Carlos dengan nada kurang senang.

“Ah, si miskin Carlito yang beruntung. Duduklah bersama kami, ada banyak makanan enak menantimu!”

“Ini rumahku, jangan menyuruhku!”

“Diamlah, Carlos, dan duduklah. Kau tak pantas berkata kasar pada orang yang setiap saat meminjami sekantung gandum sampai kau mendapat uang untuk membayarnya!” sahut Gina Carlos pada suaminya.

“Nah, pimpinlah kami berdoa agar makanan yang dibawa anakmu diberkati Tuhan untuk kita,” kata Franco pada Carlos.

“Sudah kubilang, jangan menyuruhku!”

“Lakukan saja, Carlos! Kau hanya perlu berdoa, tanpa perlu membayar makanan ini, karena Hugo sudah membayarnya kepada Franco!” tukas Gina dengan lebih ketus.

“Apa? Hugo membayarnya pada si gendut ini?”

Tak ada jawaban kecuali mata Gina Carlos, Hugo, si gendut Franco dan dua adik perempuan Hugo yang memandangi Carlos dalam diam mereka. Carlos menggumam-gumam sambil memutuskan untuk segera berdoa saja. Benar kata si gendut Franco, hari ini keberuntungan datang. Tadi ia mendapat sedikit uang, tapi sampai di rumah ternyata sudah ada banyak makanan di meja.

“Ah, anak si miskin Carlito, sudah saatnya kami semua mendengar ceritamu yang kau tunda tadi,” kata Franco sambil menyuap makanan ke mulutnya dan mengunyah dengan caranya yang khas.

Hugo mengangkat wajahnya yang sejak suapan pertama terus tertuju pada piring yang dipenuhi kentang dan ayam.

“Cerita? Cerita tentang apa?” tanya Carlos.

“Ah, si miskin Carlito, kau tahu, anakmu tiba-tiba datang padaku dan berbelanja banyak sekali untuk dapur ibunya. Ia sampai tak bisa membawanya pulang sendiri, jadi aku mengantarkannya. Aku marah pada istrimu karena tega menyuruh anakmu belanja begitu banyak, tapi ternyata istrimu tak pernah memberinya uang dan menyuruhnya belanja padaku. Tentu sekarang kau juga ingin tahu, dari mana anakmu mendapatkan uang itu, bukan?”

“Apa maksudmu, Franco? Hugo? Belanja?”

“Ayo, Hugo, kau sudah berjanji,” kata Gina Carlos.

Semua mata tertuju pada Hugo yang memandangi mereka satu-satu. Sendawa kecil meluncur dari tenggorokannya. Ia merasa bertenaga untuk bercerita sekarang. Ayam dan kentang telah memberinya kekuatan.

“Aku bertemu dengan seseorang. Ia tinggi besar dan bercambang. Memakai sombrero dan menyapaku dengan ucapan, ‘siapa namamu, Hugo?’,”

“Di mana kau bertemu dengannya?” tanya Gina Carlos.

“Di sekolah, saat itu aku sedang letih setelah bermain bola. Ia tiba-tiba saja duduk di sebelahku dan menyapaku seperti itu. Aku bertanya, mengapa menanyakan nama yang sudah diketahui? Ia bilang, ia kagum padaku,” jelas Hugo.

Semuanya mendengarkan dengan seksama dan suap serta kunyah yang perlahan-lahan.

“Ia telah sering datang ke sekolah dan datang ke tanah lapang dekat pasar untuk melihatku bermain bola. Sejak ia menyapaku pertama kalinya, ia kemudian sering menantangku.”

“Menantangmu?” tanya Franco.

“Menggiring bola melewati banyak lawan, membuat gol dan memenangkan pertandingan dengan aku hanya diberinya dua kawan, sedang lawanku ada enam atau tujuh orang.”

“Ia ingin mengolok-olokmu?”

“Tidak, ia benar-benar memberiku uang seperti janjinya ketika aku bisa menang dengan dua kawanku melawan tujuh orang lawanku. Dua kawanku juga diberikan uang, tapi bagianku memang lebih banyak. Ia pernah juga menantangku untuk menjatuhkan sombreronya dengan bola yang kutendang. Ia akan memberiku uang jika aku bisa menjatuhkannya, tapi ia akan menamparku keras-keras jika bola itu sampai mengenai apa saja pada tubuhnya.”

“Kau bisa?”

Hugo mengangguk.

“Tadi aku pulang dari sekolah dan pergi lagi karena tak ada makanan di rumah. Aku bertemu dia lagi di jalan dan dia memintaku untuk melakukan sesuatu dengan bola lagi. Aku bilang tak bisa karena aku sangat lapar. Dia bertanya kenapa tak makan dulu sebelum pergi bermain, kubilang, di rumahku hanya ada makanan pada saat malam, ibuku harus memasak sekali saja dalam sehari agar sekantung gandum kami bisa untuk kami makan beberapa hari. Aku berkata begitu agar dia tak memintaku untuk melakukan hal yang melelahkan dengan bola. Tapi dia bilang, kau tak boleh lapar, karena kau tak akan bisa bermain bola dalam keadaan lapar. Pahlawan Meksiko tak boleh dibiarkan lapar.”

“Pahlawan Meksiko?” tanya Franco.

“Ia ingin aku bermain sepak bola untuk Meksiko. Ia ingin memasukkanku ke akademi sepak bola. Ia mengeluarkan uang dari saku celananya dan menyuruhku membeli makanan.”

“Hugo, benarkah begitu?” tanya Gina Carlos.

“Ah, anak si miskin Carlito, aku lega mendengarnya. Rupanya ada orang baik yang senang padamu karena permainan bolamu. Tentu saja kau bisa menjadi pahlawan Meksiko. Siapa nama orang baik itu, anak si miskin Carlito?”

“Ia menyebut dirinya Cordoba,”

“Ah, siapa pun dia, sudah memberitahu padamu Carlito, bahwa kau punya harta karun. Ia bisa membebaskanmu dari julukan si miskin jika kau tahu cara membuka peti harta karunmu. Kau tahu maksudku, anakmu punya bakat bermain bola, entah sebagus apa, tapi seseorang sudah terpikat dengan bakat anakmu dan buktinya adalah ayam dan kentang yang kita makan tadi. Mungkin memang akan datang padamu seseorang yang meminta agar diijinkan membawa anakmu ke akademi sepak bola,” ujar Franco sambil mengelus perut gendutnya. “Tapi, mula-mula, kau jangan terlalu senang dulu, karena sepertinya kau harus bekerja lebih keras sekarang. Bukan hanya demi makanan kalian, tapi mestinya anakmu akan membutuhkan lebih banyak uang jika ada seseorang yang membawanya ke akademi sepak bola. Jangan biarkan orang itu membeli anakmu!”

“Apa maksudmu, Gendut?”

“Dengar, jika kau biarkan orang itu terus mengeluarkan uang untuk anakmu, kau tak akan memiliki anakmu ketika anakmu benar-benar menjadi pahlawan Meksiko, kau akan kehilangan dia. Orang itu yang akan menguasai anakmu karena ia mengeluarkan banyak untuk menjadikannya pahlawan,” kata Franco dengan pelan, tapi sangat tegas.

Carlos dan istrinya saling memandang. Lalu memandang Hugo yang kembali bersendawa karena angin di dalam perutnya terdesak ayam dan kentang.

“Jadi aku harus bagaimana?”

“Bisa dikatakan, kau memiliki sekotak harta karun. Tapi kotak itu masih terkunci dan kau harus bekerja sangat keras untuk membukanya sendiri, jangan biarkan orang lain yang membukanya, cepat atau lambat ia akan mengambil bagian lebih banyak darimu!”

Carlos melihat Hugo yang masih sibuk dengan sisa ayam dan kentangnya. Harta karun? Lalu ia memperhatikan Franco. Ia belum sepenuhnya bisa mencerna kata-kata Franco, tapi ia sadar jika ia tak ingin membantah kata-kata si gendut itu.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar dan Gina Carlos yang buru-buru membukanya menemukan seseorang dengan mantel hitam dan celana hitam, memakai sombrero dan wajahnya dipenuhi cambang, di ambang pintu.