Mengingat Kembali Masa Kejayaan Liga Italia Serie A
Di
awal tahun 90 an hingga awal tahun 2000 an, Liga Italia Serie A adalah
tayangan yang dinanti-nanti penggemar sepak bola di Indonesia, bahkan
dunia. Malam senin, jam setengah sepuluh. Pada saat itu rasanya tak ada
kompetisi yang menarik selain Liga Serie A Italia. Klub-klub yang akrab
di telinga adalah klub-klub peserta Serie A. Kemana Barcelona, Real
Madrid, Bayern Munchen, PSG, Ajax, Manchester United, Chelsea, atau
Arsenal? Tentu saja mereka ada bersama liga masing-masing, tapi karena
obor liga tempat mereka menjadi peserta kalah mencorong dengan Serie A,
maka nama-nama beken itu tak akrab di telinga (orang umum dan awam)
sebagaimana AC Milan, Juventus, Lazio, AS Roma, Inter Milan, Fiorentina,
Udinese, Sampdoria, atau Parma yang setiap pekan terdengar dari
televisi. Bahkan klub-klub papan bawah seperti Cremonese, Brescia,
Perugia, Genoa, Torino lebih sering terdengar di banding klub-klub top
Eropa yang tidak berada di Serie A.
Dalam
kejuaraan tingkat Eropa yang melibatkan beberapa klub Italia, seperti
(waktu itu) Piala Champions, Piala UEFA, atau Piala Winners, pamor
mentereng Serie A membuat penggemar sepak bola memavoritkan klub-klub
Italia. Mungkin karena pamornya sedang mengkilap itulah makanya
klub-klub Italia percaya diri dan mampu merajai Eropa.
Sebagian
besar pemain sepak bola, bahkan yang belum pemain sepak bola bermimpi
bisa bermain di Serie A, terutama dengan klub-klub papan atas (terutama)
AC Milan, Juventus, Parma, Lazio, AS Roma, Inter Milan, Fiorentina,
atau setidaknya, Sampdoria. Maka tak heran jika bintang-bintang sepak
bola dunia saat itu terkonsentrasi dan ‘berkumpul’ di Serie A. Bermain
di Seri A layaknya menjadi penegasan keabsahan sebagai bahwa seorang
pemain sepak bola patut disebut sebagai bintang. Apalagi jika berhasil
meraih gelar juara liga yang di sana disebut sebagai Scudetto dan
menjuarai turnamen di tingkat Eropa. Bukan hanya ketenaran yang kemudian
akan mengikuti, tapi juga kesejahteraan hidup, mengingat klub-klub di
Serie A tak pernah segan mengeluarkan berapa pun jumlah uang untuk
membeli jasa seorang pemain bintang.
AC
Milan adalah ‘mimpi dan tujuan utama’ seorang pemain sepak bola
profesional. Menjadi skuad klub itu adalah dambaan pesepakbola. Menjadi
skuad Milan berarti berada dekat sekali dengan gelar juara, trofi,
ketenaran, dan tentu saja, uang. Nama-nama beken yang pernah menghuni
skuad, dan deretan gelar serta trofi yang diraih membuat Milan menjadi
mimpi indah para pesepakbola dan serta meraih kekaguman dari dunia.
Selain
Milan ada beberapa klub pesaing seperti Juventus yang prestasinya tak
kalah mentereng dibanding Milan, karena meski Milan merajai Eropa, tapi
gelar juara liga terbanyak adalah milik Juventus. Juventus juga
merupakan klub tujuan para pesepakbola. Nama-nama bintang yang pernah
berada di sana pun bukan nama sembarangan. Selain Juventus dan Milan,
klub-klub seperti juga tak kalah pesonanya bagi para pesepakbola. Jadi
bisa dikatakan, kalaupun tak bisa ke Milan, masih ada Juventus, Lazio,
AS Roma, Parma, Inter Milan dan Fiorentina. Pokoknya di Serie A.
Penggemar
sepak bola kala itu juga lebih mengenal nama-nama pemain Serie A,
apalagi nama-nama ‘pemain lokal’ Italia sendiri memiliki ciri khas nama
yang mudah dibaca dan mudah diingat, dan ciri khas mereka yang lain
adalah, tampang mereka ganteng. Diakui atau tidak, itu juga merupakan
daya tarik tersendiri, mengingat penggemar sepak bola tidak hanya kaum
laki-laki, tapi juga perempuan.
Klub-klub
top liga lain seperti Manchester United, Arsenal, Blackburn Rovers,
Bayern Munchen, Borussia Dortmund, Real Madrid atau Barcelona bukan tak
kebagian bintang saat itu, tapi penggemar sepak bola saat itu lebih
familiar dengan nama-nama yang berada di klub Serie A (khususnya untuk
klub-klub papan atas). Ada Eric Cantona dan Andrey Kanchielskis di MU,
David Ginola di Newcastle, Alan Shearer yang bersinar bersama Blackburn
Rovers, Hristo Stoichkov di Barcelona dan lain-lain. Tapi pesona Serie A
membuat bintang-bintang itu hanya terkenal di lembar-lembar berita,
sedang bintang Serie A lalu lalang di layar kaca setiap awal pekan dan
dikenal lebih banyak penggemar.
Sejak
kasus Calciopoli yang menggegerkan yang melibatkan beberapa klub top
Serie A, pamor mereka yang cemerlang itu perlahan (kalau tak boleh
dikatakan seketika) padam. Selera berubah mengikuti perkembang sepak
bola itu sendiri. Pamor itu sudah pergi dari ranah Serie A. Kini, Serie A
tak ubahnya dulu ketika sebuah TV swasta mencoba menyuguhkan tayangan
Liga Belanda. Bisa diistilahkan, apa yang menarik?
Pemain
top kini bertebaran di klub-klub di luar Serie A. Pesepakbola masa kini
memimpikan Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, Arsenal,
Manchester City atau Bayern Munchen. Bukan Milan, bukan Juventus,
apalagi Parma yang sekarang (kabarnya) bangkrut.
Tahun
90 an teknologi informasi belum secanggih sekarang. Informasi (untuk
orang umum dan terutama awam) terbatas hanya dari televisi atau koran.
Serie A berserta semua berita dan ceritanya memenuhi sarana informasi
yang ada, membuatnya ibarat menguasai dunia, tapi di jaman teknologi
serba canggih dan informasi bisa menyebar dalam sekejap secepat racun
menjalari aliran darah Serie A kehilangan berita dan cerita untuk
kembali ‘menjangkiti’ warna-warni dunia sepak bola. Mereka seperti
tertinggal di masa lalu beserta ceritanya. Milan misalnya, mereka pernah
punya kenangan manis di bulan Mei 1994 ketika mereka ( yang saat itu
dipenuhi bintang dan mendapat julukan The Dream Team ) dengan
telak mengalahkan Barcelona 4 – 0 di Athena dalam Final Piala Champions.
Saat itu pamor Barcelona bukan apa-apa dibanding pamor Serie A dan
Milan itu sendiri. Keadaan yang entah bagaimana andai kata final itu
(misalnya) terjadi hari ini, saat kejayaan cerita Serie A dan
klub-klubnya tinggal cerita.
Liga
Italia Serie A masih ada. Milan dan pesaingnya masih berjibaku menjadi
yang terbaik di sana. Beritanya pun tetap ada di berbagai media dengan
sejuta cerita yang melingkupinya. Penggemar Serie A pun masih ada, tapi
bagi yang pernah ikut ‘menikmati’ kejayaan Serie A di tahun 90 an dan
awal 2000 an, pertandingan, berita, dan cerita Liga Italia Serie A
sekarang bukan lagi hal yang ‘memantik syahwat’ sebagaimana yang terjadi
di masa lalu.
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Kanal Bola Kompasiana. Selengkapnya di http//:wwwkompasiana.com/sigandi
Dipersilakan bagi yang ingin sharing di sini, ruang komentar bisa kita jadikan forum berbagi cerita tentang sepak bola
BalasHapus